PENCEMARAN LOGAM BERAT
PENCEMARAN PERAIRAN TELUK BUYAT
Teluk Buyat
merupakan teluk kecil yang terletak di pantai selatan semenanjung Minahasa, Sulawesi Utara, Indonesia. Secara
administratif, teluk ini berada di Kabupaten Minahasa Tenggara. Sekitar teluk ini tinggal sejumlah nelayan. Sejak tahun 1996,
Teluk Buyat digunakan sebagai daerah penimbunan untuk Mesel Gold Mine,
dijalankan oleh PT. Newmont Minahasa Raya, perusahaan cabang Newmont Mining Corporation yang memiliki saham 80%. Tailing dari
tambang emas itu merupakan cadas halus dan emas ditemukan di situ.
Kasus pencemaran lingkungan di dunia yang nyaris
mampu menyamakan rekor kasus “Minamata Deases” di Teluk Minamata Jepang
dimasa itu. Bumi Sulawesi Utara (Sulut) yang menjadi lokasi terciptanya kasus
menghebohkan dunia yang sebetulnya sejak tahun 2001 sudah sangat menghebohkan
dunia internasional, sehingga tercipta suatu kerjasama internasional untuk
mengadakan suatu “International Conference” tentang “System Tailing
Displacement (STD)” di Kota Manado (ibukota Sulut). Tak kurang dari 10
negara hadir di acara tersebut dan sempat menerbitkan “deklarasi Manado”.
Kerjasama Jaringan Tambang Indonesia (JATAM), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(WALHI) Pusat maupun daerah Sulut serta berbagai organisasi internasional yang
menghadirkan negara-negara yang menjadi korban perusahaan-perusahaan tambang
emas skala besar dan kecil seperti Papua Nugini, Pilipina.
Hanya saja, kegiatan ini tidak digubris oleh
pemerintah pusat maupun daerah, sambutan dingin dan tidak bersahabat cenderung
tercipta antara para masyarakat (nasional & internasional) terhadap
kegiatan tambang yang cenderung merampas hak hidup (termasuk hak mendapatkan
lingkungan hidup bersih) orang-orang kecil (local community). Sudahlah,
semuanya juga sudah tahu bahwa, investasi skala besar akan lebih diperhatikan
di negara ini dibandingkan dengan kesejahteraan masyarakatnya. Padahal, dalih
meningkatkan kesejahteraan masyarakat selalu menjadi kata-kata pembuka bagi
rangkaian pidato-pidato saat indstri skala besar beroperasi, urusan benar-benar
masyarakat benar sejahtera atau tidak, urusan lain.
Karena urusan sejahtera atau tidak inilah yang
menjadi problem di setiap negara yang menduduki suatu wilayah, dimana selalu
saja masyarakatnya hidup di bawa garis kemiskinan, termasuk yang terjadi di
daerah kita Teluk Buyat Sulawesi Utara. Akibat kegiatan pertambangan skala
besar oleh PT. Newmont Minahasa Raya (NMR), ekosistem perairan laut di teluk
Buyat rusak parah akibat buangan 2000 ton tailing setiap hari. Bukan
saja itu, kondisi masyarakat di sekitar Teluk Buyat yang mengantungkan hidupnya
dari hasil laut dan harus bertahan hidup di wilayah tersebut karena tekanan
kemiskinan harus menerima akibat dari pencemaran dan perusakan ekosistem
Perairan Teluk Buyat. Terkontaminasi logam berat arsen, lahan tangkapan ikan
berpindah jauh ketengah laut, yang semuanya itu menurunkan kualitas hidup sebagian
masyarakat Desa Buyat tepatnya masyarakat di dusun V Desa Buyat Pante.
Limbah yang akan mengakibatkan biaya tambahan
bagi masyarakat akibat kegiatan perusahaan yang seharusnya tidak keluar ke alam
bebas, justru sengaja dikeluarkan melalui pipa sepanjang 900 meter dari tepi
pantai Teluk Buyat. Akibatnya menimbulkan biaya pencemaran bagi masyarakat
sekitar Teluk Buyat atau eksternal cost. Seharusnya ini menjadi biaya
internal bagi perusahaan tersebut. Laut? ya, itulah pilihan PT. NMR untuk
membuang sampahnya, dengan harapan eksternal costnya hilang. Lucu dan sungguh
sangat tolol, bahwa memikirkan laut adalah lahan bebas yang tidak akan
berhubungan dengan kehidupan manusia. Coba, kita pikirkan secara teologis,
apakah Tuhan menciptakan laut untuk tempat buang sampah? Bukankah di setiap
kitab suci agama yang menceritakan penciptaan bumi ini, dikatakan bahwa laut
adalah tempat ikan-ikan dan makhluk hidup lainnya. Yang secara rantai makanan
akan berhubungan dengan manusia.
Dalih 82 meter sebagai zona termoklin, sungguh
sangat tidak masuk akal, coba saja bapak-bapak yang mengatakan itu, menyelam
dan masuk ke kedalaman tersebut, apakah tailing (sludge dan air)
tidak bercampur dengan air laut atau tidak naik ke permukaan? Tahun 2001, Walhi
Sulut sudah melakukan penyelaman dan terlihat sungguh sangat keruh air
dikedalaman itu, di mana menandakan bahwa sedimen betul-betul naik ke
permukaan. Jadi, teori termoklin yang selalu digunakansebagai pelindung bagi
buangan PT. NMR perlu direvisi, apakah zona termoklin indikatornya karena
kedalaman ataukah kondisi suhu tertentu suatu perairan yang permanen dan bukan temporer
(seperti yang terjadi di daerah tropis).
Pencemaran Teluk Buyat adalah bentuk bencana
ekologis yang merupakan suatu bukti tidak bertanggungjawabnya kita melindungi
bumi Sulut sebagai tempat tinggal dan hidup. Perusakan ekosistem laut akibat
timbunan “tailing” yang mengandung logam-logam berat yang
mengkontaminasi biota dan bahkan meracuni masyarakat sekitar yang bermukim di
sekitar “point source” yang sangat mengantungkan hidupnya dari hasil
laut perairan tersebut. Barangkali kontaminasi itupun telah tersebar di
sebagian masyarakat Sulawesi Utara melalui ikan-ikan yang telah dikonsumsikan
karena dampak pencemaran ini secara ekologi akan melintasi wilayah administrasi
suatu wilayah.
Pencemaran logam berat terutama logam arsen dan
logam merkuri oleh PT. NMR sudah jelas-jelas terbaca pada laporan-laporan
RKL/RPL dan sejak tahun 2000 semua itu sudah terlihat, namun masih saja
dianggap perusahaan raksasa ini tidak melakukan pencemaran di perairan Teluk
Buyat.
Kasus Buyat, menjadi salah salah satu model
pengelolaan lingkungan hidup yang harus mengorbankan masyarakat yang hidup di
garis kemiskinan (yang terlihat) dan mengorbankan seluruh masyarakat Sulut
sebetulnya (bencana ekologis) di masa datang. Inilah kenyataan yang mesti
masyarakat Sulut hadapi, terpilihnya daerah kita sebagai lahan eksploitasi emas
dan terpilihnya tanah kita sebagai ajang buang sampah beracun akibat kegiatan
pengelolaan emas yang bakal mengancam keberadaan masyarakat Sulut dimasa
datang. Berikut adalah dampak dari pencemaran logam berat di Teluk Buyat.
Tahap-tahap dalam pengelolaan lingkungan hidup
masih tidak terlaksana dengan baik di bumi Sulut. Jika ada perencanaan, sering
kali tidak didasari oleh hasil evaluasi dari kegiatan yang sudah berjalan.
Pelaksanaan suatu kegiatan seringkali tidak sesuai dengan rencana, selalu
disesuaikan dengan budget yang ada, dan seringkali kenyataannya biaya kegiatan yang
dikeluarkan lebih kecil dari biaya yang sudah diajukan. Demikian pula dengan
pengawasan terhadap suatu kegiatan, apakah merusak lingkungan atau tidak,
selalu juga terbentur pada biaya pengawasan atau lebih tepat sesuai saja dengan
biaya pengawasan sehingga pengawasan hanya dilakukan sepanjang mata memandang.
Padahal kegiatan pengawasan adalah kegiatan yang amat penting untuk tetap
membuat rencana dan pelaksanaan konsisten dengan komitmen mensejahterakan
masyarakat Sulut. Akhirnya, kegiatan evaluasi tidak dapat dilakukan dengan
baik, padahal hasil evaluasi merupakan data yang akan dimasukkan (input)
kembali pada suatu proses perencanaan. Tahap-tahap inilah dalam pengelolaan
yang semestinya sangat diperhatikan tapi justru inilah tahap yang rawan dan
seringkali terjadi manipulasi (data maupun uang).
Terlepas era kapan PT. NMR diijinkan untuk
beroperasi di bumi Sulut, tetap saja saat kini yang menentukan apakah perlu
dipertahankan atau ditutup sama sekali dan jika ada kegiatan yang serupa yang
akan beroperasi di Sulut, tidak diperbolehkan sama sekali untuk membuang
tailing di dasar laut. Perencanaan investasi di era Presiden Suharto, bukan
tidak bisa dievaluasi di era Presiden Susilo Bambang Yodoyono kini, itulah yang
disebut dengan evaluasi dalam suatu pengelolaan lingkungan hidup. Hasil
evaluasi tersebut akan menjadi suatu perencanaan baru. Jika kegiatan tersebut
hanya untuk menyengsarakan masyarakat Sulut saat ini dan di masa datang (10-20
tahun), lebih baik tidak diperbolehkan lagi berkegiatan di bumi Sulut dan
tentunya harus melakukan kegiatan perbaikan (rehabilitasi) akibat pengrusakan
yang telah dilakukan pada seluruh komponen alam dan manusia.
Tim Teknis Penanganan Kasus Pencemaran dan Perusakan
Lingkungan Teluk Buyat merekomendasikan
untuk dilakukan pemantauan Teluk Buyat oleh pihak PT. Newmont Minahasa Raya dan
juga pemerintah sampai dengan 30 tahun yang akan datang. Masyarakat setempat
yang terkena penyakit mempunyai gejala yang sama dengan gejala yang
diakibatkan terpapar oleh Arsen. Kondisi Teluk Buyat dikategorikan
mempunyai resiko tinggi terhadap kesehatan manusia dengan adanya ikan yang
mengandung Arsen dan Merkuri, maka disarankan untuk mengurangi konsumsi ikan
yang berasal dari Teluk Buyat. Perlu dipertimbangkan untuk merelokasi penduduk
dusun Buyat Pante ke tempat lain. Perlu dilakukan penegakan hukum terhadap
pelanggaran peraturan perundang-undangan Lingkungan Hidup yang dilakukan oleh
PT. Newmont Minahasa Raya. Kajian hukum tim teknis merekomendasikan pemerintah
untuk selanjutnya melarang pembuangan limbah tambang (tailing) ke laut.
Sumber: