PERKELAHIAN ANTAR PELAJAR (TAWURAN)
Perkelahian, atau yang sering
disebut tawuran, sering terjadi di antara para pelajar. Bahkan bukan hanya antar
pelajar SMU, tapi juga sudah melanda sampai ke kampus-kampus. Ada yang
mengatakan bahwa berkelahi adalah hal yang wajar pada remaja terutama di
kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan. Permasalahan tawuran
pelajar di Jakarta bukan lagi permasalahan kota, melainkan sudah menjadi isu
nasional.
Dari data mengenai kasus
perkelahian pelajar terlihat bahwa perkelahian antar pelajar ini semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Korban yang tewas karena perkelahian ini pun
bertambah dari tahun ke tahunnya yang menewaskan para pelajar itu sendiri,
anggota masyarakat, dan polri.
Perkelahian pelajar ini
merugikan banyak pihak. Paling tidak ada empat kategori dampak negatif dari
perkelahian pelajar. Pertama, pelajar (dan keluarganya) yang terlibat
perkelahian sendiri, mengalami dampak negatif pertama bila mengalami cedera
atau bahkan tewas. Kedua, rusaknya fasilitas umum seperti bus, halte dan
fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca toko dan kendaraan.
Ketiga, terganggunya proses belajar di sekolah. Terakhir, mungkin adalah yang
paling dikhawatirkan para pendidik, adalah berkurangnya penghargaan siswa
terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain.
Para pelajar itu belajar bahwa
kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah mereka, dan
karenanya memilih untuk melakukan apa saja agar tujuannya tercapai. Akibat yang
terakhir ini jelas memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap kelangsungan
hidup bermasyarakat di Indonesia.
PANDANGAN UMUM TERHADAP PENYEBAB
PERKELAHIAN PELAJAR
Banyak tuduhan bahwa pelajar
yang berkelahi berasal dari sekolah kejuruan, berasal dari keluarga dengan
ekonomi yang lemah. Tuduhan lain juga sering dialamatkan ke sekolah yang dirasa
kurang memberikan pendidikan agama dan moral yang baik. Begitu juga pada
keluarga yang dikatakan kurang harmonis dan sering tidak berada di rumah.
Padahal penyebab perkelahian
pelajar tidaklah sesederhana itu. Terutama di kota besar, masalahnya sedemikian
kompleks, meliputi faktor sosiologis, budaya, psikologis, juga kebijakan
pendidikan dengan kurikulum yang padat misalnya, serta kebijakan publik lainnya
seperti angkutan umum dan tata kota.
Secara psikologis, perkelahian
yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk
kenakalan remaja. Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat
digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematik. Pada
delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang
“mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat
adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat. Sedangkan pada
delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di
dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan
kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi. Sebagai
anggota, mereka bangga kalau dapat melakukan apa yang diharapkan oleh
kelompoknya.
TINJAUAN PSIKOLOGI PENYEBAB REMAJA
TERLIBAT PERKELAHIAN PELAJAR
Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku
merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut
kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam
hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor
psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
1. Faktor internal. Remaja yang
terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi
lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman
pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang
makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan
pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang
mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan
dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah,
menyalahkan orang / pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan
cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi,
ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi
yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan
rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.
2. Faktor keluarga. Rumah tangga
yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas
berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan
adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan
kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika
remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani
mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya,
ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian
dari identitas yang dibangunnya.
3. Faktor sekolah. Sekolah
pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya
menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas
pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya
untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak
relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan
menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama
teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas
memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai
penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya
juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik”
siswanya.
4. Faktor lingkungan. Lingkungan
di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak
terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan
kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu
pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga
lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat
merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi
emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.
SARAN
TERHADAP MARAKNYA PERKELAHIAN PELAJAR
Minimnya ruang
publik yang bisa menyalurkan energi kreativitas bagi pelajar menjadi salah satu
penyebab. Untuk itu, hal tersebut sangat penting untuk dipikirkan oleh
pemerintah dan Kementerian Pendidikan, serta dibutuhkan kerja konkret di
lapangan. Peran dunia pendidikan dan orang tua juga amat sangat penting untuk
terwujudnya ruang publik yang dapat menyalurkan energi para pelajar tersebut.
SUMBER
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar